--> < >

KH. Abdul Hamid Ulama Yang Sabar Dan Penyayang

    Semua Orang Berasa Paling Disayang


    KH. Abdul hamid Lahir di tahun 1333 H, di Dusun Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa tengah. Meninggal dunia 25 Desember 1985.

    Pengajaran: Pesantren Talangsari, ]ember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jawa timur. Dedikasi: pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan
    ANGIN bergerak perlahan-lahan. Sunyi. Jam menunjuk jam 01.00 lebih. Masyarakat Pesantren Salafiyah, Pasuruan, dan sekelilingnya pulas tidur pulas.

    Krosak! Mendadak suara daun terlanggar batu menyodok kesunyian. Sejurus selanjutnya kedengar kembali suara itu yang ke-2 dan ketiga kalinya. "Faisal, hari telah malam. Waktunya tidur," kedengar peringatan lembut dari arah belakang pelempar batu itu. Faisal (bukan nama sebetulnya), santri Salafiyah yang populer badung itu tidak menyahut. Dia percaya, itu suara anak santri yang lain ingin memikatnya, dengan mengikuti suara Kiai Hamid.

    Faisal mengambil batu kembali dan melemparkan pohon mangga di muka rumah pengasuh pesantrennya itu. "Faisal, hari telah malam, waktunya tidur," kedengar suara halus kembali dari arah belakang anak yang menyukai melucu itu. Demikian halus, selembut sepoi-sepoi angin larut malam. "Biarlah, kau tidak perlu jahil. Saya tahu siapa kau," sergah Faisal sekalian melemparkan kembali.

    Kembali lagi lemparannya lepas. Dia makin tidak sabaran menyaksikan buah mangga yang ranum itu.
    "Faisal, hari telah malam. Mari tidur, tidur." Suara itu tetap lembut, tanpa emosi. "Kurang ajar," umpat Faisal. Kesabarannya telah habis. Ini kelewatan, pikirnya. Dengan marah, dia mendekati arah hadirnya suara itu.

    Entahlah apa yang ingin dilakukan pada orang yang dia anggap mengikuti seperti Kiai Hamid itu. Dia tidak bisa selekasnya mengenal, siapa santri yang beraga seperti Kiai Hamid di muka rumah kiai yang paling dihormati itu. Mahfum, semua lampu di teras rumah itu telah dipadamkan semenjak jam 21.00. Tiba-tiba wajahnya pucat saat jarak sama orang itu tinggal 1-2 mtr..

    Badannya bergetar untuk ketahui orang yang sudah diumpatinya barusan betul-betul Kiai Hamid. Faisal juga menunduk enggan. "Telah malam, ya. Saat ini waktunya tidur," tutur Kiai, Hamid, tetap halus, tetapi penuh wibawa. "Inggih (iya)," jawab Faisal pendek, sekalian ngeloyor ke kamarnya. Faisal bukan salah satu santri yang menyukai mengambil mangga punya kiai.

    Narasi semacam itu menjadi seperti mode ciri khas kenakalan santri di pesantren. Faisal bukan salah satu anak santri Salafiyah yang rasakan kesabaran Kiai Hamid. Kesabarannya memang dianggap bukan hanya oleh beberapa santri, tetapi juga oleh keluarga dan warga dan umat islam yang sempat mengenalinya. 

    Jarang dia geram, baik ke santri atau ke istri dan anaknya. Kesabaran Kiai Hamid pada hari tua, terutamanya sesudah menikah, sebetulnya kontras dengan karakter kerasnya di periode muda.
    "Kiai Hamid dahulu benar-benar keras," kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid terlahir di Sumber Riang, sebuah dusun di Lasem, Rembang, Jawa tengah, di tahun 1333 H. Dia ialah anak ke-3 dari 7 belas bersaudara, lima salah satunya saudara satu ibu. 

    Sekarang, antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal 2 orang yang hidup, yakni Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari 5 saudara seibunya, 3 orang masih hidup, yakni Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ke-3 nya di Pasuruan.

    Hamid dibesarkan di tengah-tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, ialah seorang ulama di Lasem, dan ibunya ialah anak Kiai Shiddiq, ulama di Lasem dan wafat di Jember, Jawa Timur.
    Kiai Shiddiq ialah ayah KH. Machfudz Shiddiq, figur NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, bekas Ro'is Am NU. 

    Keluarga Hamid memang mempunyai ketergantungan yang paling kuat dengan dunia pesantren. Seperti saudara-saudaranya lainnya, Hamid semenjak kecil disiapkan menjadi kiai. Anak ke-4 itu sebelumnya belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada usia 9 tahun, ayahnya mulai mengajarkannya pengetahuan fiqh dasar.

    3 tahun selanjutnya, cucu kecintaan itu mulai pisah dari orang-tua, untuk mengangsu pengetahuan di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Kabarnya, begitu pembicaraan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid benar-benar disayang baik oleh ayah atau kakeknya. Selagi kecil, telah terlihat pertanda jika dia akan jadi wali dan ulama besar.

    "Pada umur 6 tahun, dia telah berjumpa dengan Rasulullah," ucapnya. Dalam keyakinan yang berkembang di kelompok masyarakat NU, terutamanya golongan sufi, Rasulullah walaupun sudah meninggal dunia satu waktu menjumpai beberapa orang tertentu, terutamanya beberapa wali. Tidak dalam mimpi saja, tetapi secara riil.

    Tatap muka dengan Rasul jadi seperti legalitas untuk kewalian seorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan beberapa ulama di Lasem. Pada umur 12 tahun, dia mulai mengelana. Sebelumnya dia belajar dalam pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. 3 tahun selanjutnya dia dibawa kakeknya untuk pergi haji yang pertama kalinya dengan keluarga, paman-paman dan bibi-bibinya. 

    Selang beberapa saat ia berpindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di dusun itu dan desa-desa sekelilingnya, dia belajar fiqh, hadits, tafsiran dan lain lain. Pada umur 18 tahun, dia berpindah kembali ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.

    Kabarnya, seperti dikatakan anak bungsunya yang sekarang menggantinya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, "Pesantren itu cukup maju untuk ukuran jamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu sudah melahirkan banyak ulama terpenting, diantaranya KH Ali Ma'shum, bekas Ro'is Am NU." Menurut Idris, berikut pesantren yang sudah banyak berperanan dalam pembangunan berat keilmuan Hamid. 

    Di sini dia belajar beragam pengetahuan keislaman. Setelah dari pesantren itu, dia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini juga semangat keilmuannya tidak pernah Padam. Dengan telaten, tiap hari dia ikuti pengajian Habib Ja'far, ulama besar di Pasuruan waktu itu, mengenai pengetahuan tasawwuf.
    Jadi Blantik

    Hamid menikah pada umur 22 tahun dengan ponakannya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu salah satunya putri. Sekarang tinggal 3 orang yang hidup, yakni H. Nu'man, H. Nasikh dan H. Idris.

    Hamid jalani saat-saat awalnya kehidupan berkeluarganya tidak secara mudah. Sepanjang sekian tahun dia harus hidup bersama mertuanya di dalam rumah yang jauh dari eksklusif. Untuk menjaga keluarganya, setiap hari dia mengayuh sepeda sepanjang 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker) sepeda. Karena, kata ldris, pasar sepeda saat itu berada di dusun Porong, Pasuruan, 30 km ke barat Kotamadya Pasuruan.

    Kesabarannya bersama dites. Hasan Abdillah menjelaskan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya sepanjang 2 tahun tidak pantas (tidak ingin kompak). Tetapi dia melawannya dengan tegar. Kematian bayi pertama, Anas, sudah mengantarkan mendung di dalam rumah keluarga muda itu.

    Khususnya untuk si istri Nafisah yang demikian resah, hingga Hamid berasa perlu ajak istrinya itu ke Bali, sebagai penyembuh lara. Satu kali lagi Nafisah dilanda kesulitan yang sangat benar-benar sesudah bayinya yang ke-2 , Zainab, wafat juga, walau sebenarnya umurnya baru beberapa waktu. Kembali lagi kiai yang arif itu membawa berekreasi ke lain tempat. 

    KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menjelaskan, layaknya seperti keluarga, Kiai Hamid pernah tidak dipanggil oleh istrinya sepanjang 4 tahun. Tetapi, tidak pernah sekalinya kedengar keluh kesah darinya. Bahkan juga sebegitu rupa dia bisa menutupinya hingga tidak ada orang yang lain mengetanuinya. "Uwong tuo kapan tidak digudo karo anak Utowo keluarga, tidak endang munggah derajate (Orang-tua jika tak pernah mendapatkan masalah dari anak atau keluarga, dia tidak segera naik derajatnya)", ucapnya satu kali berkenaan tingkah seorang anaknya yang cukup menyusahkan.

    Kesabaran beliau diaplikasikan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tak pernah mendapatkan geram, apa lagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya semakin banyak memberi pengajaran melalui keteladanan. Saran jarang diberi. Namun, untuk beberapa hal yang paling konsep, shalat misalkan, Hamid benar-benar tegas.

    Sebagai kewajiban untuk anak-anaknya untuk bangun di saat fajar menyingsing, buat menjalankan shalat subuh, walau sering orang yang lain diminta menggugah mereka, Hamid memberikan edukasi membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di periode kecil. Tetapi, demikian mereka mencapai remaja, Hamid lebih sukai memberikan anak-anaknya ke pesantren lain.

    Tidak cuma ke anak-anak, tetapi juga istrinya, Hamid memberikan edukasi. Waktunya tidak jelas. Kitab yang diberikan juga tidak jelas. Bahkan juga, dia mengajarkan tidak secara berurut dari bab satu ke bab selanjutnya. Pendeknya, dia seperti asal ambil kitab, lalu dibuka, dan diberikan pada istrinya. Dan semakin banyak, kata Idris, yang diberikan ialah kitab-kitab berkenaan adab, seperti Bidayah al-Hidayah kreasi Imam Ghazali, "Nampaknya yang lebih ditegaskan ialah ibadah, dan bukan ilmunya tersebut," terangnya.

    Ibadah dari kitab itu juga yang ditegaskan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Jika pesantren-pesantren tertentu dikenali dengan spesialisnya dalam sektor-sektor pengetahuan tertentu - misainya alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, karena itu salafiyah mencolok sebagai satu instansi untuk cetak sikap seorang santri yang bagus.

    Di sini, Kiai Hamid mengharuskan beberapa santrinya shalat berjemaah 5 waktu. Sementara agenda aktivitas pesantren semakin banyak berisi aktivitas wirid yang nyaris penuhi jam aktif. Semua harus dituruti oleh semua santri. 

    Kiai Hamid sendiri, sedikit mengajarkan, terkecuali ke santri-santri tertentu yang diputuskannya sendiri. Disamping itu, terutamanya di saat-saat akhir hidupnya, dia cuma mengajarkan satu minggu sekali, untuk umum.

    Masjid pesantren dan pekarangannya tiap Ahad selalu ramai pengunjung untuk ikuti pengajian setelah sholat subuh ini. Mereka bukan hanya tiba dari Pasuruan, tetapi juga beberapa kota Malang, Jember, bahkan juga Banyuwangi, terhitung Walikota Malang saat itu. Yang diberikan ialah kitab Bidayah al-Hidayah kreasi al-Ghazali. Kabarnya, dalam tiap pengajian, dia cuma membaca beberapa baris dari kitab itu.

    Selebihnya ialah beberapa cerita mengenai ulama-ulama masa lampau sebagai panutan. Seringkali, air matanya mengalir deras saat menceritakan. Disajikan Kulit Roti Kiai Hamid memang figur ulama sufi, penggemar imam Al-Ghazali sama kitab-kitabnya lhya ‘Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tetapi, corak kesufian Kiai Hamid bukan yang menampik dunia sama sekalipun. Dia, kabarnya, memang menampik dikasih mobil Mercedez, tetapi dia ingin menumpanginya. Bangunan tempat tinggal dan perlengkapan-perabotannya lumayan baik, walau tidak berkesan eksklusif.

    Dia sukai kenakan pakaian dan bersorban yang serba putih. Langkah kenakan pakaian atau performanya selalu kelihatan rapi, tidak kedodoran. Opsi baju yang digunakan pun tidak dapat disebut berkualitas rendah. "Berpakaianlah dengan rapi dan baik. Agar saja kamu di kira orang kaya. Siapa yang tahu asumsi itu sebagai doa buatmu," ucapnya satu kali ke seorang santrinya. Tetapi, Kiai Hamid bukan orang yang menyukai mengobral gairah. Malah, kata idris, dia selalu usaha menantang gairah.

    Hasan Abdillah menceritakan, satu kali Hamid punya niat untuk mengungkung gairahnya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tapi, istrinya tidak paham itu. Padanya lalu disuguhi roti. Untuk membahagiakannya, Hamid makan roti itu, tetapi tidak semua, tetapi kulitnya saja. "O, ternyata ia sukai kulit roti," berpikir istrinya. Esoknya dia beli roti dengan jumlah yang lumayan besar, lalu menyajikan ke suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid ketawa. "Saya bukan fans kulit roti. Jika saya mengkonsumsinya tempo hari, itu karena saya bertirakat," katanya.

    Kabarnya, berulang-kali Kiai Hamid disodori mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tetapi, dia selalu menampiknya secara lembut. Dan tidak untuk membuat sedih, Hamid menjelaskan, dia akan menghubunginya setiap saat memerlukan mobil itu. Kiai Hamid memang usaha untuk sesuai harapan seseorang, satu sikap yang tercipta dari tuntunan idkhalus surur (membahagiakan seseorang) seperti disarankan Nabi.

    Misalkan, bila bertamu dan sedang berpuasa sunnah, dia selalu bisa sembunyikannya ke tuan-rumah, hingga dia tidak berasa sedih. Disamping itu, dia selalu bertandang ke undangan, di mana saja dan oleh siapa saja.

    Selainnya tercipta oleh tuntunan idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid tercipta oleh satu tuntunan (yang dimengerti secara simpel) berkenaan kepedulian sosial islam pada golongan dlu'afa yang direalisasikan berbentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis - pinjam istilah Abdurrahman Top mengenai karakternya.

    Tetapi, Kiai Hamid memanglah bukan seorang pakar ekonomi yang berpikiran lebih makro. Walaupun demikian, kita bisa memprediksi, sikap sosial Kiai Hamid tidak cuma sekedar refleksi dari motivasi keagamaan yang "egoistis", dalam makna cuma untuk mendapatkan pahala, dan berasa terlepas dari kewajiban. Kita kemungkinan bisa menyaksikan, begitu tuntunan sosial islam itu telah membuat tanggung-jawab sosial dalam dianya walau tidak habis.

    Tuntunan Islam, tanggung-jawab sosial sebelumnya harus diaplikasikan ke keluarga paling dekat, selanjutnya tetangga terdekat dan sebagainya. Urut-urutan fokus begitu terlihat pada Kiai Hamid. Ke tetangga paling dekat yang tidak sanggup, kabarnya dia memberi kontribusinya dengan teratur, terlebih jika mereka sedang memiliki hajat, apa itu untuk memasangkan atau mengkhitan anaknya.

    H. Misykat yang berbakti kepadanya sampai dia wafat, menceritakan jika jika ada tetangga yang punyai hajat, Kiai Hamid memberikan uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajari, hari raya sebagai hari di mana umat Islam disarankan senang sebagai rasa sukur sesudah menjalankan lbadah puasa satu bulan penuh. Mendekati hari raya, sebagai seperti seorang ulama, Kiai Hamid tidak terima hadiah dan zakat fitri.

    Tapi, dia repot membagikan kembali ke handai tolan dan tetangga paling dekat. Menurut H. Misykat, jumlah hadiah - berbentuk beras dan sarung - untuk tetangga dekat tiap tahun bergantung yang dimilikinya dari pemberian seseorang. Tetapi yang jelas, banyaknya tidak pernah kurang dari 313 buah. Ini ialah jumlah beberapa penganut perang Badr (pecah pada bulan Ramadhan di antara Nabi dan orang Kafir). Pencarian lebih jauh akan mengaitkan, perhatian pada seseorang sebagai ciri-ciri dari sikap sosialnya yang kuat.

    Jika semua perbuatannya itu tumbuh dari sikap penuh perhatian yang tinggi pada seseorang. Hingga, kata H. M. Hadi, sisa santri dan adik iparnya, "Semuanya orang berasa paling disayang oleh Kiai Hamid." Tiap pagi, start pukul 03.00, dia sukai jalan kaki berkeliling-keliling ke Masjid-mushalla sampai sepanjang 1-2 km. untuk menggugah beberapa orang - umumnya anak-anak muda - yang tidur di beberapa tempat beribadah itu. 

    Selain itu, sejumlah rumah tidak lepas dari perhatiannya hingga membuat tuan-rumah tergopoh-gopoh untuk ketahui jika orang yang mengetok pintu mendekati subuh itu ialah Kiai Hamid yang paling dihormatinya. Sikapnya yang kebapakan tersebut yang membuat semuanya orang mengenalinya secara dekat berasa kehilangan saat dia meninggal dunia.

    Dia selalu dengan penuh perhatian dengarkan keluh kesah dan permasalahan seseorang, dan kadang lewat pertanda-perlambang, memberikan perpecahan padanya. Tidak hanya itu. Dia kerap memaksakan orang untuk menceritakan berkenaan sebagai permasalahannya. "Katakan ke saya apa yang membuat kamu resah," desaknya ke H. A. Shobih Ubaid, walau sudah berulang-kali menjelaskan tidak terjadi apa-apa. Dan, pada akhirnya sesudah dituntun ke kamar di tempat tinggalnya, Shobih dengan menangis bercerita permasalahan keluarga yang sejauh ini menjejal di hatinya.

    Ketika lain, seseorang mau tak mau menceritakan jika dia masih kurang uang hadapi perkawinan anaknya, sesudah dipaksa oleh Kiai Hamid. Kiai Hamid lalu memberikannya uang Rp 200.000. Pemberian uang untuk beberapa maksud baik ini bukan rahasia kembali. Selainnya kerap dihajikan seseorang, telah beberapa puluh juga orang yang sudah naik haji atas ongkosnya, baik penuh atau sebagiannya saja.

    Lebih dari itu, tidak kurang 300 mushola yang sudah berdiri atau diperbaiki atas prakarsa dan sanggahan ongkosnya. Menurut H. Misykat, aktivitas semacam ini semakin menggebu mendekati dia meninggal dunia. Dia memprakarsai perbaikan pada beberapa masjid di dekat tempat tinggalnya yang sejauh ini tidak pernah tersentuh pembaruan. Karena itu, dari sisi keluarkan uang dari kantongnya sendiri, dia memberikan kuasa ke masing-masing panitia untuk menggunakan namanya dalam cari bantuan.

    Kepeloporan, kebapakan dan sikap sosialnya yang diidentikkan dengan loyalitas Idkhalus surur dan kepedulian sosial dalam bentuknva yang simpel dengan corak spiritual yang kuat sebagai karakter kepimpinannya. Tetapi, lebih dari itu, kepimpinan yang tidak menunjukkan diri, dan dalam beberapa hal, bahkan juga usaha sembunyikan diri, rupanya cukup efisien dalam kasus Kiai Hamid. Kiai Hamid yang suaranya demikian lirih itu tak pernah menyampaikan pidato di muka umum: Tetapi di sanalah, terutamanya untuk warga Pasuruan dan mayoritas Jawa Timur yang telah telanjur mengaguminya itu, berada kemampuan Kiai Hamid.

    Kabarnya, kepimpinan Kiai Hamid mulai terlihat sepanjang menuntut pengetahuan di Pesantren Termas. Dia telah ganti nama sekitar 2x. Dia lahir bernama Mu'thi, lalu ganti bernama Abdul Hamid sesudah haji yang pertama. Selanjutnya, tanpa menyengaja, mertuanya, KH Ahmad Qusyairi, panggilnya dengan Hamid saja. "Nama saya memang Hamid saja, Bah (Ayah)," ucapnya, seperti tidak mau menyebalkan mertuanya itu.

    Antara kreasinya, diantaranya, Nadzam Sulam Taufiq, yakni menyairkan kitab populer di ponpes, Sulam Taufiq. Sebuah kitab yang berisi akidah, syari'ah, akhlaq dan tasawuf. Dan Thariqah beliau ialah Syadziliyah. Berdasar sebagian sumber ada yang menjelaskan ambil thariqah dari KH. Mustaqiem Husein, ada sumber lain mengatakan dari Syeikh Abdurrazaq Termas.
    LihatTutupKomentar