--> < >

K.H. Ali Ma'shum Lasem, Pelopor Pembaharuan Pesantren


    K.H. Ali Ma'shum (1333 - 1410 H)

    K.H. Ali Ma'shum Lasem, Pelopor Pembaharuan Pesantren, K.H. Ali Ma'shum dilahirkan di Lasem kota mana berada di pesisir utara pulau Jawa masuk daerah kabupaten Rembang Jawa tengah. Dia lahir di 2 Maret 1915 (15 Rabiul Akhir 1333 H) dari buah pernikahan K.H. Ma'shum dan Ny. Nuriyah. Ke-2 orang tuanya sebagai figure dan figur agama karismatik yang selainnya dihormati jadi tempat aduan masalah hidup warga umumnya. (Muhdlor, 1989: 4)

    Kyai Ali [kecil] terlahir di tengah gencarnya golongan pembaharu lakukan gempuran pada peran ponpes yang sama dengan lembaga pengajaran tradisionil. Walau begitu, ayahnya tidak arahkan Kyai Ali untuk menjauhi dari pesantren. Bahkan juga dia dididik supaya makin menyukai pesantren.
    Wajar, ayahnya sendiri sebagai produk pesantren. Kakeknya, K.H. Ahmad Abdul Karim, juga begitu. Hingga hampir kisah pengajaran Kyai Ali, semua saudaranya, tak pernah mengenyam pengajaran resmi, baik yang dibangun oleh Belanda, Jepang atau golongan masyarakat Indonesia sendiri. (Muhdlor, 1989: 5)

    Di bawah bimbingan langsung ayahnya, Kyai Ali terima pengajaran. Sebelumnya, ayahnya menginginkan Kyai Ali jadi seorang pakar pengetahuan Fiqih. Karena itu, tiap hari Kyai Ali selalu diajari kitab-kitab fiqih. Tetapi kecondongannya rupanya berseberangan dengan kemauan ayahnya. Kyai Ali malah lebih suka pelajari kitab-kitab nahwu dan sharaf.

    Sesudah bergerak remaja, Kyai Ali dikirimkan ayahnya untuk berguru ke K.H. Dimyathi Tremas di tahun 1927 (1345 H). Di Tremas, sepanjang 3 tahun tak pernah pulang sekalinya ke Lasem. Ini dilaksanakan Kyai Ali untuk menunjukkan adat jika seorang santri yang sepanjang tiga tahun awal semenjak kehadirannya tidak pulang daerah sebagai tanda keberhasilan cari pengetahuan dan nantinya bisa menjadi ulama besar.

    Di Tremas, Kyai Ali pelajari banyak kitab kuning. Salah satunya Fathul Mu'in, Tafsiran Jalalain, Alfiyah ibn Malik, Minhajul Qawim dan Sahih Bukhari Muslim. Walau awalannya Kyai Ali ingin menempati pemondokan seperti santri secara umum tetapi atas perintah K.H. Dimyathi, dia diminta tinggal di ndalem. Pada akhirnya Kyai Ali tinggal sekamar dengan Gus Muhammad, putra K.H. Mahfudz al-Tarmasyi kakak K.H. Dimyathi.

    Kyai Ali memang cepat dan cerdas kuasai beberapa materi pelajaran yang diberikan kepadanya. Karena itu oleh K.H. Dimyathi, Kyai Ali dipercayai untuk turut menolong mengajarkan beberapa santri. Dari sini karier intelektualitas dan reputasi Kyai Ali pelan-pelan naik. Dia dihormati tidak karena hanya putra dari ulama besar dan karismatik, tapi terlebih karena kemampuan individu dan pengusaan ilmunya yang luas. Talenta-bakat keulamaan mulai terlihat disini. (Muhdlor, 1989: 9)

    Ini kelihatan dari semangat membaca yang demikian menggebu-gebu. Kyai Ali bukan saja membaca kitab-kitab yang diberikan kyainya atau kitab-kitab classic kreasi ulama salaf, kitab-kitab beberapa pembaharupun habis disantapnya. Misalkan, Tafsiran al-Manar karya Rasyid Ridla, Tafsiran al-Maragi kreasi Musthafa al-Maraghi dan Fatawa Ibn Taimiyyah kreasi ibn Taimiyyah. (Muhdlor, 1989: 10) Kitab-kitab yang "masih asing" di dunia pesantren itu didapat Kyai Ali, salah satunya, dari siswa-murid ayahnya, dari keluarga besar Tremas yang tiba dari Mekah.

    Kesukaan membaca ini jadikan Kyai Ali sebagai seorang pemuda yang walau masih belia tetapi mempunyai wacana pengetahuan yang menua. Dari demikian banyak pengetahuan yang didalami, nampaknya pengetahuan Tafsiran al-Qur'an dan pengetahuan Bahasa Arab benar-benar mengambil alih perhatiannya. Bukti berikut yang nantinya mengantar Kyai Ali terkenal antara sedikit periset Indonesia yang pintar dan kapabel di bagian bahasa Arab. Hingga beberapa orang menyebutkan Kyai Ali sebagai "Munjid berjalan."

    Di tahun 1932 (1350 H) di Tremas dibangun sebuah madrasah yang awalnya sebagai hal tabu di pesantren. Selainnya Gus Hamid Dimyathi, salah satunya putra K.H. Dimyathi, Kyai Ali disebut sebagai perintis modernisasi pesantren Tremas itu. 

    Walau berat hati pada akhirnya K.H. Dimyathi memberikan restu berdirinya madrasah di pesantren Tremas. (Muhdlor, 1989: 11) Keberanian Kyai Ali menyuntikkan peralihan jadi point tertentu untuk pribadinya. Di depan, Kyai Ali memang sama dengan seseorang yang selalu resah akan pendidikan pesantren yang masih sangat tradisional dan beliau tampil dengan beberapa ide penyempurnaan yang fresh. 

    Sesudah 8 tahun di Tremas, Kyai Ali mohon pamit untuk kembali lagi ke Lasem. Madrasah diberikan ke Gus Hamid Dimyathi saat gantikan ayahnya, K.H. Dimyathi, yang meninggal dunia 2 tahun sesudah madrasah dibangun, tahun 1934 (1352 H).

    Sekembalinya ke Lasem, Kyai Ali meluapkan seluruh tenaga untuk menolong mengajarkan di pesantren ayahnya. Dari sisi mengajarkan beberapa disiplin pengetahuan, Kyai Ali benar-benar intensif mengajari bahasa Arab dan Tafsiran al-Qur'an. 

    Ali bawa udara segar untuk penyempurnaan di pesantren Lasem itu. Di tahun 1938 (1356 H) Kyai Ali mempersunting Hasyimah puteri ulama masyhur di bagian al-Qur'an, K.H. Munawir, dari Krapyak Yogyakarta. (Muhdlor, 1989: 15) Cuma berlalu sekian hari saat mereguk manisnya malam pengantin baru, Kyai Ali disodori seorang pemurah hati namanya H. Djunaid untuk menjalankan haji ke Mekah. Meskipun dengan berat hati, peluang emas itu tidak dia menyia-nyiakan. 

    Selainnya menjalankan haji, di Mekah Kyai Ali berguru ke ulama-ulama besar di situ seumpama Sayyid Alwi al-Maliki dan Sayyid Umar Hamdan. Di Mekah dia mempelajari disiplin pengetahuan Hadis sekalian memfasihkan bahasa Arabnya. 

    Kyai Ali cuma 2 tahun di Mekah. (Muhdlor, 1989: 17)

    Di Indonesia waktu itu keadaan sangat darurat. Saat-saat peralihan penjajahan Belanda dan wargaan Jepang dan perlawan pundak membahu oleh beberapa pejuang untuk merampas kemerdekaan otomatis menipiskan apresiasi beberapa orang untuk belajar dalam pesantren. Pesantren bimbingan K.H. Ma'shum di Lasem terserang dampaknya. 

    Demikian juga pesantren Krapyak di bawah kepimpinan K.H. Munawir. Kyai Ali yang sekembali dari Mekah berusaha habis-habisan hidupkan pesantren Lasem, pada akhirnya terpanggil untuk kembali lagi ke Krapyak. Apa lagi sesudah K.H. Munawir meninggal dunia pada 1942 (1361 H), pesantren Krapyak makin lengang. Pada akhirnya Kyai Ali pindah ke Krapyak untuk "aktifkan" kembali pesantren mertuanya itu.

    Langkah awal yang dilakukan Kyai Ali ialah mengkader "ahlul bait" keluarga Krapyak. Mereka ialah Abdul Qadir, Mufid Mas'ud, Nawawi Abdul Aziz, Dalhar, Zainal Abidin Munawir, Ahmad Munawir dan Achmad Warson Munawir. Kaderisasi ini dibetulkan oleh K.H. Zainal Abidin Munawwir, pengasuh pesantren Krapyak sekarang ini. 

    Kyai Zainal memperjelas jika saat dididik Kyai Ali dianya "dipaksakan" untuk dapat kuasai kitab-kitab kuning. Pada "ahlul bait", lebih Kyai Zainal, Kyai Ali dikenali benar-benar keras. Nyaris tidak ada waktu untuk rileks. Tiap "ahlul bait" selalu diawasi perubahan ilmunya. 

    Dalam penilaian Kyai Ali membuat kekuatan keulamaan keluarga Krapyak pantas diprioritaskan untuk menghidupkan aura kebesaran pesantren Krapyak di masa datang. Dan betul, apa yang sudah dilakukan Kyai Ali sudah memetik hasil yang menyenangkan. "Ahlul bait" yang dididiknya di masa datang tampil meramaikan dinamika kehidupan di pesantren Krapyak. Bahkan juga Ahmad Warson Munawir sukses mengeluarkan kamus bahasa Arab al-Munawwir yang sampai saat ini jadi kamus standard di dunia pesantren. Putranya sendiri, Attabik Ali bersama A. Zuhdi Muhdlor sanggup menghasil kamus bahasa Arab kontemporer al-Asyri.

    Di bawah bimbingan Kyai Ali, pesantren Krapyak berkembang cepat. Pelan-pelan pesantren Krapyak mempunyai fasilitas pengajaran yang cukup lengkap, yaitu Taman Kanak-kanak, Madrasah Diniyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Takhassus dan Tahfidz al-Qur'an. Sampai begitu, terjadi kesetimbangan di antara pengajian al-Qur'an dan pengajian kitab-kitab kuning. (Muhdlor, 1989: 25) Santri hasil didikannya menyebar di beberapa wilayah di Indonesia, bahkan juga beberapa [pernah] jadi beberapa orang utama di negeri ini. 

    Kesuksesan Kyai Ali tidak lepas dari ketekunannya "memantau" beberapa santri. Semua gerak-gerik santri selalu terlihat oleh Kyai Ali. Hubungan dengan beberapa santri jadi keunikan Kyai Ali. Kyai Ali suka menggugah santri untuk dibawa shalat tahajud dan subuh secara berjemaah.

    Dalam soal pengajian, sebagian besar waktu Kyai Ali disiapkan untuk mengajarkan dan mendidik santri. Sore sampai Isya mengajarkan santri dengan mekanisme bandongan. Mekanisme bandongan dilaksanakan dengan seorang kyai membaca kitab sementara beberapa santri memerhatikan kitab yang serupa untuk disyarahi. 

    Dalam mekanisme ini yang aktif ialah kyainya. Santri semakin banyak dengarkan keterangan kyai pada materi yang dibaca. Tipe kitab yang dibaca Kyai Ali dengan mekanisme ini umumnya ialah kitab Tafsiran, Hadis dan Fiqh. Sedang pada pagi hari sesudah subuh mengajarkan dengan mekanisme sorogan. Mekanisme ini kontradiksi dari mekanisme bandongan. 

    Di sini menuntuk keaktifan santri untuk membaca kitab, dan kyai tinggal memerhatikan dan benarkan bila bacaan itu salah. Mekanisme ini dipercaya keampuhannya dalam membuat kualitas keilmuan santri karena santri dituntut untuk menyiapkan banyak hal saat sebelum membaca kitab di depan kyai. 

    Santri dilatih memberikan keterangan secara runtut pada apa yang dibaca dalam kitab. Dengan begitu, santri mempunyai peluang luas untuk mengeksploitasi kekuatan keilmuan yang mengeram dalam dianya. Selain itu, Kyai Ali sering melangsungkan pengajian selapanan (35 hari) yang dituruti oleh warga umum.

    Tetapi di akhir Desember 1986, saat memberikan khotbah dalam rencana peringatan haul K.H. Bisri Mustafa di Rembang, seorang pemuda mendadak serang Kyai Ali terus-menerus dengan memakai benda tajam. Tidak sangsi, Kyai Ali juga tersuruk dan selekasnya dibawa ke rumah sakit Rembang. Ironis. Sesudah kejadian itu kesehatan Kyai Ali semakin menurun. Sampai saat Kongres NU tahun 1987 diadakan di pesantren Krapyak, Kyai Ali cuma mampu ikuti dari bedeng kamarnya. Dan pada 7 Desember 1989 (09 Jumadil Ula 1410 H) Kyai Ali wafat saat jalani perawatan di RSU Sardjito, Yogyakarta.
    LihatTutupKomentar